Roman Dua Sekawan (7)

by 6:18 PM 0 comments

Chapter 7:

Aku memandangi Tristan yang sedang berbicara dengan perawat di depan pintu ruang ICCU. Bukan pembicaraan yang berlangsung lama, tapi saat kembali kepadaku, dapat kulihat ada risau di wajahnya.

"Bagaimana?" Aku menggeser posisi dudukku dan memberinya tempat yang cukup untuk duduk di sebelahku.

"Mereka masih berusaha..." Tristan menyandarkan kepalanya ke tembok. Dari yang bisa kulihat, dia pasti sangat kelelahan.  Jangan-jangan dia juga tidak bisa tidur semalam.

"Bersabarlah, Tan... Aku yakin kakekmu akan segera pulih." Aku mencoba menguatkannya.

Dia menatapku, mencoba tersenyum. Meski hanya sekilas, aku merasa senang dia masih bisa tersenyum.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah makan belum?" Aku kembali bertanya kepadanya.

Dia menggeleng lemah. "Aku tidak lapar..." dia menjawab tanpa menoleh.
Aku menarik nafas panjang, 'ah, kasihan sekali kamu, Tan...' Aku tidak berpikir panjang, segera bangkit dan melangkah meninggalkannya.

"Ton?" Dia memanggilku pelan. Aku berhenti dan tersenyum kearahnya. "Mau kemana?"

"Jangan khawatir. Aku akan bawakan makanan. Nanti kita makan bareng ya..."

"Baiklah... bawalah ini.." Tristan menyodorkan  tangannya. Aku kembali melangkah ke arahnya. Di tangannya itu adalah sebuah kartu, kartu tanda keluarga pasien. "Nanti kamu bisa langsung masuk, menggunakan ini..."

Aku menerimanya. Lalu segera melangkah pergi meninggalkannya.

***

Tristan tampak sedang memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya ke tembok saat aku kembali. 'Apakah dia tertidur?' Aku melangkah perlahan agar tidak bersuara. Jika dia memang ingin tidur aku rasa biarlah dia tidur.

Tetapi saat aku sampai dan memandanginya sambil berdiri, dia tampak membuka matanya. "Eh, Ton... Maaf aku ketiduran.." dia segera memperbaiki posisi duduknya.

"Kamu memang harus tidur, Tan. Kalau tidak nanti kamu bisa sakit juga..." aku segera duduk di sampingnya. "Tapi sebelum itu, kamu makanlah dulu ini." Aku mengeluarkan roti dan susu yang baru saja kubeli.

"Kamu beli apa?" Tristan memandangi apa saja yang kukeluarkan dari kantong plastik.

"Aku hanya bisa mendapatkan ini.. roti.. susu... Oh iya aku membeli madu juga. Ini kesukaanmu kan? Dan ini ada buah pisang juga..."

Tristan tampak tersenyum dengan apa yang kubawa. "Terimakasih, Ton..." aku mendengar ketulusan di balik ucapan singkatnya itu. Ada air yang tampak menggenang di sudut-sudut matanya.

'Ah, kenapa anak ini seperti sedang berkaca-kaca..' aku memandangi wajahnya. Tidak sering aku melihatnya pada kondisi seperti ini.

"Sudah jangan dilihatin terus... ayo makan. Tidak perlu aku suapin kan?"  Aku berusaha mencairkan suasana. Kami berdua tersenyum, sementara aku terus memandanginya tanpa henti. Ada hangat kasih sayang mengalir di dalam hatiku. 'Aku menyayangimu, Tan.. jangan pernah merasa sendiri ya..'

Tristan mulai membuka plastik pembungkus roti itu, mengeluarkannya lalu menyodorkan sebagian kepadaku.

"Makanlah saja dulu..." aku menolak.

"Bukankah kamu bilang kita akan makan bersama?" Tristan bertanya sambil tetap menyodorkan setengah roti itu padaku.

'Ah, mulai nih keras kepalanya...' aku membatin. 'Tapi kalau tidak aku turuti nanti dia malah ga makan..' Aku terpaksa menerima dan memakan bagian yang diberikannya. Kali ini, aku dapat melihat Tristan makan tidak seperti biasanya, biasanya dia akan makan dengan sangat lahap.. sangat cepat. Tapi kali ini dia terlihat begitu lambat. Aku tahu dia pasti tidak selera. Tapi tak apalah, karena setidaknya dia sudah memasukkan sesuatu ke perutnya.

"Sudah ya, Ton.. aku sudah kenyang..." Tristan menaruh roti yang dia baru makan beberapa suap saja.

Aku menarik nafas panjang. "Baiklah. Tapi nanti kamu makanlah lagi. Oh iya, minum juga susu dan madu itu untuk menjaga kesehatanmu. Kakekmu akan sangat membutuhkanmu... " Nasehat itu mengalir begitu saja dari mulutku.

Tristan memandangiku sekilas lalu tersenyum. Dan lagi-lagi aku merasa luluh melihat senyumnya.

Beberapa saat kemudian kami terdiam. Memandangi wajah-wajah lusuh dan sedih di sekitar kami.

"Kamu lihat sudut itu, Ton?" Aku mengarahkan pandanganku ke arah yang ditunjukkan olehnya. Hanya sederet bangku kosong.

"Kemarin malam masih ramai orang di situ. Tetapi sekarang mereka sudah pergi... tadi pagi pasien yang mereka tunggui sudah meninggal..." Suara Tristan seperti tercekat pada bagian akhir kalimatnya.

Aku hanya bisa terdiam mendengar ceritanya. Lagi pula apa yang harus aku katakan?

"Lelaki itu masih cukup muda, menurut yang aku dengar. Tetapi dia tidak bisa selamat dari serangan jantung itu..." Tristan kembali bercerita.

"Kakekmu pasti akan bertahan, Tan. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja..." aku meletakkan tanganku di bahu kirinya.

Tristan menoleh ke arahku, memandang sejenak tanganku yang kemudian buru-buru aku turunkan dari bahunya.

"Oh, iya... semalam aku ke rumahmu.." aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Semalam?" Tristan bertanya singkat.

"Iya... Rumahmu benar-benar gelap.." aku menghadapkan posisi tubuhku ke arahnya. "Dan lagi kamu pasti lupa mengunci pagar. Aku bisa masuk dan mengetuk pintu. Tapi malah Bu Dian yang muncul dari belakangku. Awalnya aku pikir dia itu hantu atau semacamnya... " aku berkelakar.

"Jadi kamu pikir rumahku berhantu?" Tristan tersenyum. "Tapi tumben kamu berani gelap-gelapan. Biasanya kan kamu udah lari tuh..."

"Ya aku penasaran aja... habis kamu ga bisa dihubungi sih.." aku berpaling darinya. Rasanya sedikit canggung untuk bisa mengakui bahwa aku sebenarnya sangat mengkhawatirkannya.

"Penasaran?" Tristan mendekatkan wajahnya melihat ke wajahku. "Atau jangan-jangan kamu kangen ya sama aku..."

'Astaga! Dia masih bisa menggodaku seperti ini?' Pipiku sepertinya memerah. Entah karena malu atau karena kesal.

"Kangen apanya?" Aku segera membantahnya. Dia tampak tersenyum, sangat manis. "Aku tuh cuma khawatir aja..."

Tristan kembali memandangiku sambil tersenyum. 'Lama-lama bisa meleleh beneran nih aku kalau sering-sering dipandangi seperti ini..' aku membatin dan segera mengalihkan pandanganku.

"Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja kan?" Tristan memegangi lutut kiriku.

"Tapi bagaimana aku bisa tahu... kalau aku tidak bisa menghubungimu? Kamu lupa bawa handphonemu?" Aku bertanya kepadanya, sesaat setelah aku ingat kemungkinan itu.

Tristan tampak membuka kedua tangannya, mengisyaratkan bahwa dia memang tidak membawa handphone. "Jangankan handphone, pakaian saja aku hanya  bawa ini..."

"Dih.. pantesan kamu bau..." aku menyeletuk menggodanya.

"Bau ya? Tapi kenapa tadi kamu memelukku lama sekali?" Tristan melingkarkan tangannya di leherku, menarikku ke arah badannya.

'Wah, jangan sampai ketahuan kalau aku memang menikmati ini..' aku segera menjauhkan tubuhku darinya. "Tuh, bau..."

Tristan tertawa kecil melihat responku. Tawa pertama yang kulihat darinya sepanjang hari ini. Aku secara spontan ikut tertawa bersamanya.

"Kalau begitu, aku akan bawakan baju untukmu ya?" Aku menawarkan bantuan padanya.

Sejenak dia menatapku. "Baiklah. Tapi lebih baik kamu cepat-cepat... Hari ini kamu masuk kerja kan?"

"Oh, iya... ngomong-ngomong soal kerjaan..." aku segera teringat dengan semua obrolanku dengan Mas Arman kemarin malam. Rasanya aku ingin menanyakan semuanya pada Tristan sekarang. Tapi melihat kondisinya saat ini, aku berusaha mengurungkan niatku.

Tristan tampak menatapku, menunggu kalimatku terselesaikan.

"Kamu juga harus ngomong kan sama Bu Mira?" Aku mengubah lanjutan kalimatku setelah berpikir sebentar.

Tristan mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi tidak menjawabku.

"Ya sudah, bagaimana kalau aku ke rumahmu. Kuambilkan pakaian dan handphonemu. Jadi kamu bisa menghubungi Bu Mira juga nanti..." aku kembali menawarkan.

"Terimakasih ya, Ton..." Tristan tampak tersenyum manis sambil merogoh saku celananya. Tangannya kemudian menyodorkan serangkai kunci-kunci. "Ini kunci rumah dan kamarku. Kunci gerbang aku lupa bawa..."

Aku menerima kunci-kunci itu dan membalas senyumannya sambil segera berdiri.

"Oke... aku pergi dulu ya. Kamu cobalah tidur meskipun sebentar... jangan khawatir, nanti aku pasti akan bangunkan kamu sesampainya aku di sini.."

Dia hanya tersenyum. Aku segera berpaling darinya dan melangkah menuju pintu.

"Ton..." suara panggilannya tidak terlalu keras. Tetapi aku masih cukup jelas mendengarnya dan itu membuatku segera menoleh ke arahnya, untuk melihatnya tersenyum sangat manis. 'Ah, anak ini kalau tersenyum benar-benar membuatku tidak ingin meninggalkannya.'

"Hati-hati di jalan ya?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Rasanya begitu hangat di hatiku mendengar kalimatnya yang terakhir. Bagaimanapun dia tetap seperti ingin menjagaku, bahkan dalam kondisinya yang sekarang ini... dia tetap tidak melupakan hal itu.

Admin

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 comments:

Post a Comment