Chapter 4 :
"Mampir yuk, Tan?" Aku menawarkan kepada Tristan.
Dia hanya tersenyum dan menggeleng.
"Ibuku sedang tidak di rumah kok?" Aku berharap dia tidak menolak karena takut Ibuku.
Dia terdiam sebentar, seolah berpikir.
"Aku tidak bohong. Ibu dan kakak sedang di tempat kerja mereka masing-masing. Mungkin baru nanti sore mereka pulang." Aku mencoba meyakinkannya.
Akhirnya dia tersenyum dan mengangguk mengiyakan tawaranku kali ini. Diapun kemudian mengikuti langkahku masuk ke dalam rumah. Kami langsung saja menuju kamarku. Aku segera menyalakan musik ketika masuk, lalu berbaring di atas tempat tidur. Sementara Tristan tampak duduk di depan meja belajarku.
"Oh iya, kalau kamu mau minum. Kamu ambil sendiri aja ya, Tan? Lemari esnya ada di dapur." Aku memberitahunya. Aku sudah terlanjur nyaman dengan posisiku sekarang.
Tristan tampak mengangguk-angguk sambil mendengarkan alunan musik.
Beberapa saat kemudian aku membuka pembicaraan. "Tan, ayolah rekomendasikan aku di tempat kerjamu itu."
"Ibumu pasti akan memarahimu." Tristan menjawab singkat.
"Ibuku memarahiku hampir pada semua hal." Aku mendengus.
Tristan tertawa kecil mendengar komentarku. Kami kemudian terdiam lagi menikmati alunan musik yang mengalun lumayan kencang.
"Tan!" Aku kembali memanggil namanya beberapa saat kemudian.
"Apa sih?" Dia menatap ke arahku.
"Ayolah!" Aku merengek.
"Kemana?" Dia bertanya seolah dia tidak mengerti yang kumau.
Dengan sedikit kesal kulemparkan sebuah bantal ke arah mukanya. Dia segera menangkap bantal itu dengan tangan kirinya. Lalu melemparkan balik bantal itu ke arahku, lebih kencang tentunya!
Aku segera melindungi wajahku dengan kedua tanganku.
"Bagaimana sih rasanya, punya ibu seperti ibumu?" Tristan tiba-tiba bertanya tanpa memandangku. Aku yang terkejut mendengarkan pertanyaannya segera saja melihat ke arahnya.
Berbarengan dengan ini playlist musik memutarkan lagu dengan irama yang slow. 'Wah, momennya bisa pas sekali seperti ini ' aku bergumam sendiri.
"Kamu kan bisa lihat sendiri kondisiku. Betapa aku tersiksa..." aku menjawab sekenanya. "Aku tidak bisa menikmati hidup, Tan. Ini ga boleh itu juga ga boleh! Semua serba diatur..."
Tristan menatapku seolah menerawang jauh ke dalam diriku. "Tapi itu kan tandanya ada perhatian dari ibumu. Dia sangat peduli kepadamu kan, makanya dia melakukan itu..." tiba-tiba aku merasa omongan Tristan ini ada benarnya. Bagaimanapun cerewetnya ibuku, toh aku tahu dia sangat menyayangiku dan aku juga sangat menyayanginya. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana jika ibu tidak ada.
"Apa kamu pernah, sehari saja tanpa kehadiran ibumu?" Tristan bertanya di tengah alunan musik yang terasa begitu pas dengan momen ini. Sebenarnya aku jadi sedikit curiga, jangan-jangan Tristan begini karena pengaruh musik yang sedang mengalun syahdu di dalam kamarku ini?
"Tidak..." aku menjawab pelan. "Tapi kamu tahu kan? Aku sudah begitu lama hidup tanpa ayahku. Jadi, Ibu sudah seperti ayah juga bagiku. Setidaknya kamu lebih beruntung kan karena kedua orang tuamu masih lengkap..." aku berkata semakin lirih pada kalimat yang terakhir.
Aku sendiri tidak terlalu ingat dengan ayahku. Aku masih terlalu kecil untuk bisa mengingat itu semua. Yang kutahu dari Ibu dan Kakak adalah bahwa ayahku meninggal karena serangan jantung. Dan semenjak itu kami harus berjuang menghadapi hidup tanpa adanya seorang kepala keluarga.
"Maafkan aku, Ton. Jika aku membuatmu bersedih..." Tristan memandangiku dengan wajah penuh penyesalan.
Aku tersenyum kepadanya. Suasana di kamar terasa begitu berbeda dibandingkan beberapa saat yang lalu gara-gara obrolan ini. "Tidak apa-apa kok, Tan. Lagi pula aku sudah terbiasa seperti ini... " aku mencoba membuatnya untuk tidak merasa bersalah.
"Terbiasa ya... aku juga terbiasa hidup seperti ini." Ujarnya pelan sambil memalingkan mukanya dariku. Ada gurat kesedihan yang sedang coba dia sembunyikan dariku. Kesedihan yang sepertinya sudah dari lama sekali dia pendam sendiri.
Sejujurnya, meskipun kami begitu akrab, betapapun seringnya kami pergi bersama... tapi sampai saat ini aku tidak berani untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya? Aku hanya tahu dia tinggal bersama kakeknya. Tapi aku tidak tahu kemana orang tuanya. Dia memang pernah menunjukkan foto kedua orang tuanya kepadaku, tapi dia tidak bercerita lebih banyak. Tambah lagi aku selalu merasa tidak enak untuk bertanya-tanya. Yang jelas, hingga saat ini, setelah bertahun-tahun aku menjadi temannya, aku bahkan tidak pernah melihat secara langsung kedua orang tuanya.
Jadi sampai dengan saat ini, kemana keluarganya sebenarnya masih merupakan misteri untukku.
"Kamu pasti sedang bertanya-tanya... kemana sebenarnya kedua orang tuaku kan?" Tiba-tiba Tristan menoleh ke arahku. Dan untuk pertama kalinya, kulihat matanya berkaca-kaca saat menatapku. Astaga, kenapa aku malah mengagumi wajahnya yang terlihat sangat manis saat ini. Untuk pertama kalinya juga aku bisa melihat sisi lain dari dirinya yang selama ini aku kenal sangat cuek dalam menghadapi masalah apapun. Aku segera berusaha mengalihkan fokusku dari wajahnya.
"Maafkan aku Tan, tapi sebenarnya sejak lama aku memang ingin tahu..." aku segera bangkit dan duduk menghadap ke arahnya.
Dia tampak kembali memalingkan mukanya dariku. Alunan musik di playlist ini memang benar-benar pas dengan suasana yang sedang terjadi, seolah-olah kami sedang bermain di salah satu scene sinetron televisi.
"Sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu mereka di mana... " Tristan mengucapkannya sedikit pelan, membuatku berusaha keras untuk bisa memahami apa yang dia katakan dari gerakan bibirnya. "Maksudku, aku tidak tahu alamat pasti tempat tinggal mereka. Aku juga tidak tahu alasan pasti kenapa mereka meninggalkanku di sini..."
"Memang mereka tinggal di mana?" Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Ayahku sedang di Belanda... kabarnya dia sedang menempuh pendidikan doktoralnya di sana..." Tristan menjawab pertanyaanku sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak tidak sesedih tadi. Mungkin kali ini dia sudah mulai bisa menguasai dirinya sendiri.
"Wah... hebat dong ayahmu..." aku mengangguk-angguk kagum. Sesaat kemudian aku tersadar untuk menanyakan ibunya, "lalu ibumu ikut bersama ayahmu tinggal di sana?" Aku dengan sotoy-nya menebak.
Tristan menggeleng pelan. "Ibuku tinggal di Singapura. Dia bekerja di salah satu rumah sakit di sana."
"Wah... ibumu dokter?" Aku terkagum-kagum lagi. Karena ternyata dia memiliki keluarga dengan profesi yang wah menurutku. Ya, jika dibandingkan ibuku yang hanya bekerja di sebuah toko kue...
"Iya, ibuku dokter spesialis syaraf." Tristan membenarkanku.
Kami kemudian terdiam beberapa saat. Sampai dengan di sini, aku merasa tidak ada yang salah dengan keluarganya. Kupikir kedua orang tuanya pastilah sangat sibuk, sehingga dia terpaksa dititipkan untuk tinggal bersama kakeknya di sini.
"Kalau tebakanku benar, kakekmu itu ayah dari ibumu kan?" Aku kembali bertanya.
Tristan mengangguk pelan. "Bisa dibilang begitu."
"Maksudmu?" Aku agak kurang paham dengan kalimatnya yang terakhir.
"Sebenarnya, dia ayah tiri dari ibuku. Ibuku sendiri kedua orang tua kandungnya sudah meninggal... " Tristan menjelaskan.
"Oh..." aku mengangguk-angguk. Aku benar-benar baru tahu semua cerita ini, setelah sekian lama aku berteman dengannya.
"Ada yang bilang..." Tristan melanjutkan. "Aku ini anak haram..." dia berhenti sementara aku melongo karena kaget dengan apa yang baru saja dia katakan.
Tristan memalingkan muka dariku. "Aku harap ini tidak membuatmu akan berubah sikap kepadaku..."
"Bagaimana bisa? Tentu saja aku tidak peduli dengan omong kosong itu..." aku berusaha menyembunyikan rasa kagetku dengan apa yang baru saja kudengar. Ternyata banyak sekali hal yang aku tidak tahu dari anak ini.
"Tapi bagaimana kalau semua itu memang benar, Ton?" Tristan menatapku tajam. "Bagaimana kalau aku ini memang anak haram?" Mata Tristan terasa menembus ke dalam mataku, seolah dia sedang mencari tahu apa yang sedang aku fikirkan kini tentangnya.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi apa maksud dia sebenarnya dengan menyebut dirinya sebagai anak haram?
"Ayah dan ibuku bertemu saat mereka sama-sama kuliah di fakultas kedokteran." Tristan kembali bercerita. "Sebagai pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara, mereka melakukan sebuah kesalahan. Dan aku adalah hasil dari kesalahan tersebut..."
Deg! Apa? Jadi itu yang dia maksudkan dengan istilah anak haram. Jadi dia...
"Ayah dari ibuku menuntut ayahku untuk menikahi ibuku, sementara kedua orang tua ayahku menentang itu. Ibuku sendiri berkali-kali berusaha untuk menggugurkanku, tetapi sepertinya dia selalu gagal... dan pada akhirnya, akupun terlahir sebagai anak yang tidak dia harapkan... ibuku kemudian meninggalkanku bersama kakekku. Kemudian setelah kakekku itu meninggal aku dititipkan kepada kakekku yang sekarang..."
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Ceritanya jauh lebih dramatis dari sinetron manapun yang pernah kutonton. Aku tidak tahu kalau cerita semacam itu benar-benar ada? Jadi orang tua yang tidak mau menerima dan mengurus anaknya itu benar-benar ada? Tiba-tiba aku merasa jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengannya.
"Orang tuamu sama sekali tidak pernah bersamamu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya lagi.
"Tentu saja sesekali mereka menemuiku. Mereka bahkan mencukupi semua kebutuhanku, secara finansial aku tidak pernah kekurangan... apalagi aku satu-satunya anak yang mereka punya hingga saat ini." Tristan tampak menarik nafas panjang. "Tapi mereka tidak pernah ada saat aku benar-benar membutuhkan mereka. Maka seperti inilah hidupku sampai dengan saat ini."
Aku terdiam mendengarkan semua yang diceritakan Tristan. Seolah aku baru saja mendengarkan sebuah kisah dari negeri dongeng. Sebagian besar terasa tidak bisa aku terima dengan akalku. Kenapa ada orang tua yang menyia-nyiakan anak semanis ini. Maksudku, apa yang kurang dari Tristan... ah, kenapa fokusku lagi-lagi ke wajahnya...
"Tapi, aku bersyukur memiliki kakek..." Tristan tersenyum menatapku. Ah, senyumnya manis sekali, seperti biasanya... aku benar-benar luluh karenanya. "Aku juga bersyukur memiliki teman yang bodoh sepertimu.."
"Hah!" Aku kaget dengan komentarnya. Kulemparkan bantal ke arahnya secara spontan. Dia segera menangkisnya dengan sigap. Dan seperti biasa, dia kemudian siap melemparkannya balik kepadaku.
"Ampun! Aku menyerah!" Aku mengangkat kedua tanganku...
"Tidak ada ampun buatmu!" Tristan tetap menyiapkan tangannya melemparkan bantal itu ke arahku, dan dia tampak sekali akan melemparnya dengan sekuat tenaganya. Aku segera menelungkup untuk melindungi diriku dari serangannya. Beberapa saat berlalu, aku tidak merasakan apapun.
Aku bertanya-tanya, sedang apa anak ini? Akupun mengangkat kepalaku untuk melihat ke arahnya, tepat bersamaan dengan dia memukulkan bantal itu ke wajahku.
Dia pun terkekeh senang karena bisa mengenai wajahku dengan telak, sementara aku memasang muka cemberut karena kesal kepadanya. "Dasar jahat!" Aku menghardiknya.
Dia tetap tertawa senang. "Sudah kubilang kan... itulah mengapa aku menyebutmu bodoh... hahaha..."
Huh! Aku paling sebal kalau dia sudah sekasar ini. Tapi melihatnya bisa tertawa lepas setelah apa yang baru saja dia ceritakan, rasanya membuat hatiku sedikit lega. Setidaknya itu mungkin bisa membantunya sedikit melupakan masalah yang dia alami selama ini.
Beberapa saat kemudian aku kembali teringat dengan tujuanku mengajaknya bicara. Akupun segera meminta kembali kepadanya, "Tan!"
Dia melihat ke arahku, tidak menjawab. Wajahnya masih dihiasi dengan senyumannya yang manis.
"Rekomendasikan aku di tempatmu bekerja." Aku benar-benar gemas dengan anak ini. Untuk satu hal ini saja aku sudah harus berkali-kali meminta kepadanya. "Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan, Tan" aku berkata selirih mungkin. Kupasang wajah sedih di depannya. Aku sangat berharap dia tidak akan tega padaku dan akhirnya mau memenuhi keinginanku.
"Baiklah... baiklah..." sesaat kemudian kudengar jawaban yang paling kutunggu-tunggu. "Tapi hentikan menunjukkan wajah jelek seperti itu kepadaku. Ayo tersenyumlah!" Akhirnya aku berhasil juga membuatnya mengikuti kemauanku. Kali ini memang lebih sulit dari biasanya. Tapi setidaknya cara ini masih juga berhasil. Selain itu hari ini aku jadi tahu sedikit tentang cerita keluarganya.
0 comments:
Post a Comment