Roman Dua Sekawan (5)

by 4:00 AM 0 comments

Chapter 5 :

Sudah telat tiga puluh menit. Ya, saat ini waktu menunjukkan pukul setengah 5 sore. Artinya Tristan sudah telat sekitar 30 menit. Tanpa kabar... dan aku tidak bisa menghubunginya. Berkali-kali sudah aku mencoba untuk menelponnya, tetapi dia tidak mengangkatnya sama sekali. Whatsapp-ku pun hanya menunjukkan status telah terkirim, tanpa dia baca sampai dengan saat ini.

Aku mulai merasa khawatir kalau dia sampai kenapa-kenapa... karena hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Karena itu aku merasa sangat khawatir terhadapnya, dan aku yakin ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Tapi apa?

"Ton?" Suara Mas Arman mengagetkanku. Mas Arman adalah seniorku di cafee tempat kami bekerja.

"Ya, Mas ... aku segera memenuhi panggilannya.

"Kamu kenapa sih dari tadi kok keliatan mondar mandir begitu?" Mas Arman bertanya tanpa memandang wajahku sama sekali. Dia tetap sibuk dengan pekerjaannya.

"Em... anu mas..." Nah, aku bingung sekarang harus menjawab apa? Apa iya aku mesti jujur kepadanya kalau saat ini aku sedang mengkhawatirkan Tristan.

"Anu.. anu..." Mas Arman memandangiku sambil tersenyum. "Anu opo?"

"Hehe.." aku tersenyum malu. "Gapapa sih mas... tadi ada yang lagi kepikiran aja..." aku beralasan.

"Ati-ati lho kamu. Kebanyakan pikiran ntar kayak tetanggaku..." Mas Arman berbicara dengan logat yang agak medok.

"Hm... emang tetangga mas kenapa gitu?" Aku bertanya penasaran.

"Yo mati." Mas Arman menjawab santai.

"Hah! Yang bener aja mas..." aku tidak percaya. "Emang dia meninggal karena kebanyakan mikir gitu?"

"Ya ndak..." Mas Arman tertawa kecil. "Dia mati karena udah tua aja.. udah kebanyakan kali mikirnya..."

"Weh... tak pikir beneran Mas..." aku menarik nafas lega.

"Lha... memangnya kamu mau gitu banyak pikiran terus mati?"

"Eh, ya ndak gitu juga lah mas..." kenapa nih aku kalau ngobrol sama Mas Arman pasti ikut kebawa logatnya deh.

"O iya, ngomong-ngomong kamu tau ndak kemana si Tristan?" Tiba-tiba Mas Arman bertanya tentang Tristan.

Wah, kebetulan nih aku jadi bisa bahas soal Tristan. "Ga tau juga sih Mas. Ga ada kabar..." aku berusaha keras menutupi kekhawatiranku.

"Hm.. bukannya kalian tu tinggalnya deketan ya?" Mas Arman kembali bertanya.

"Iya sih.. tapi kan kita tadi jalan masing-masing..." aku sebenarnya biasanya berangkat bersama Tristan. Tetapi karena takut telat, akhirnya hari ini aku tinggal. Aku tidak tahu kalau ternyata dia sampai sekarang masih belum datang juga.

"Dia masih kerja di sini kan?" Mas Arman kembali bertanya.

"Maksudnya, Mas?" Aku cukup kaget dengan pertanyaan itu. "Harusnya masih lah..."

"Bukannya dia mau berhenti ya?" Mas Arman semakin membuatku kaget.

"Eh.." kali ini aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa ingin tahuku. "Masa sih Mas? Memangnya mas Arman tahu dari mana?"

Wah, kalau sampai benar Tristan tidak bekerja lagi di sini,, artinya dia menyembunyikannya dariku. Tapi untuk apa? Kenapa dia tidak bilang saja terus terang kepadaku. Aku pikir kami ini sudah sangat akrab. Tapi ternyata...

"Bos Mira yang ngomong," Mas Arman menatapku sekilas, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Orang yang dia panggil Bos Mira adalah pemilik dari cafee tempat kami bekerja.

"Oh..." aku mengangguk-angguk meskipun tetap tidak bisa menerima. Kenapa aku harus mengetahui ini dari orang lain. Apa yang sebenarnya Tristan pikirkan. Kenapa dia harus menyembunyikan ini dariku.

"Aku pikir itu kesepakatan kalian berdua..." Mas Arman kembali melontarkan pernyataan yang membuatku bingung.

"Hah? Kesepakatan apa mas?" Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.

"Yo kamu masuk bekerja di sini untuk gantiin Tristan kan?" Mas Arman balik bertanya.

'Lho! Apalagi ini, Tan?' Aku berpikir keras menebak-nebak semua kemungkinan di balik tidak masuknya Tristan hari ini. Dan semua muncul begitu saja hanya gara-gara beberapa kalimat dari Mas Arman barusan.

"Eh, emang Tristan ada bilang begitu sama Mas Arman?" Aku bertanya dengan nada serius.

Gila! Jika semua ini benar-benar terjadi, dan Tristan tidak memberitahuku sepatah katapun!

"Yo ndak lah. Aku nebak aja..." Mas Arman tampak tersenyum.

Baiklah, aku bisa bernafas sedikit lega. Jadi tadi itu cuma tebakan dia saja. Tapi sampai bagian yang mana ya yang tebakan dia?

Kami terdiam sesaat. Kupandangi pintu masuk cafee, berharap Tristan segera muncul di sana. Aku sangat ingin bertanya banyak hal kepadanya saat ini. Selain itu, entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan ketidakhadirannya.

Apakah ini yang namanya rindu? Entahlah... yang kutahu aku hanya ingin dia ada di sini sekarang. Bisa melihat wajah dan senyumannya mungkin akan membuatku lebih baik. Sayangnya wajah itu tidak juga muncul kali ini.

"Yo wis lah... Ini coba kamu bawakan ke meja nomor 8 ya... kasian udah nunggu lama... terus kamu balik lagi ke sini cepet.. jangan mondar mandir di depan pintu lagi ya?" Mas Arman tiba-tiba mengagetkanku. Dia lalu menyerahkan nampan berisi pesanan pelanggan kepadaku.

Aku pun tersadar dan segera mencoba menutupi kegelisahanku darinya. "Beres, pak Bos!" Aku mengangkat tanganku untuk menerima nampan itu dan melangkah ke arah meja 8.

***

"Kamu balik dulu aja, Ton." Mas Arman tampak memandangiku yang sedang membersihkan meja.

Aku balik memandanginya sejenak, tersenyum lalu menggeleng. Setelah menarik nafas panjang, tanganku kembali bergerak dengan sendirinya. Sementara pikiranku kembali melayang memikirkan Tristan. 'Ah! Kemana anak itu?' Aku terus saja bertanya dalam hatiku.

Hari ini Tristan benar-benar tidak datang bekerja, tanpa kabar... dan lebih parah lagi, dia tidak bisa dihubungi.

"Wis, Ton." Aku merasakan tepukan di pundakku. Aku menoleh, Mas Arman ternyata sudah berdiri di belakangku. Entah sejak kapan.

"Tanggung, Mas. Tinggal meja ini saja kok..." aku berusaha tampak baik-baik saja. Tapi aku rasa aku tidak berhasil. Sepertinya Mas Arman tahu kalau aku sedang sangat gelisah.

"Yo wis... " Mas Arman tersenyum. "Meja ini rampung, kamu langsung balik aja. Yang lain, aku yang urus ya..."

Aku tersenyum dan segera mengangguk. Mas Arman memang baik, sangat baik malah. Dia memperlakukan kami seolah kami adalah adik-adiknya. Tapi satu hal yang aku ragu, apakah dia mengetahui tentang perasaanku kepada Tristan? Apakah dia merasa aneh dengan kedekatanku dengan Tristan? Tapi sedari awal Mas Arman tidak terlihat berubah. Dia tetap Mas Arman yang selalu bersikap manis kepada kami berdua.

Tanpa terasa semua meja telah kubersihkan. Sejujurnya sekarang aku malah merasa bingung. Aku memang bisa pulang sekarang. Tapi apakah itu akan membantu? Aku malah merasa membutuhkan sesuatu untuk bisa mengalihkan perhatianku. Tapi Mas Arman pasti akan terus menyuruhku untuk segera pulang.

"Mas," aku menghampirinya. "Masih ada yang bisa kubantu?" Aku bertanya.

"Wis kok, ayo kamu balik sana. Mas juga mau balik kok ini..." dia tampak mengenakan jaketnya.

"Sudah selesai semua memangnya mas?" Aku masih juga bertanya.

"Lho... kamu ini kok nanyanya gitu. Wis semua kok. Yuk, balik!" Mas Arman segera melangkah menghampiriku.

"Eh, iya Mas. Saya ambil jaket saya dulu..." aku melangkah menuju gantungan tempat kutaruh jaketku. Segera setelah mengenakan jaketku, aku melangkah keluar menghampiri Mas Arman yang  sudah menunggu di sana untuk menutup cafee.

Setelah selesai menutup dan mengunci rolling door, mas Arman kembali bertanya kepadaku. "Apa perlu tak antar kamu?"

"Ah, tidak mas..." aku buru-buru menolak. "Aku bisa jalan sendiri kok Mas..."

"Yo wis..." Mas Arman tampak mengangguk-angguk. "Kalau gitu aku balik ya? Sampai ketemu besok." Mas Arman tampak mengangkat tangannya mengisyaratkan pamitnya kepadaku.

"Hati-hati, Mas..." aku meneriakkan itu setelah melihatnya berjalan beberapa langkah.

Mas Arman berhenti dan menoleh. "Iyo, kamu juga!" Dia kemudian berpaling dan melangkah meninggalkanku sendirian.

Aku tetap berdiri di depan cafee, sampai sosok Mas Arman hilang ketika dia berbelok jalan. Kutarik nafas dalam. Sepi.

Kini aku merasa kesepian. Padahal ini bukan kali pertama aku pulang sendirian. Tapi ini kali pertama aku tidak tahu kabar Tristan. Dan itu cukup membuat perbedaan yang besar.

Aku kemudian melangkah gontai. Pikiranku kembali melayang, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu. Kenapa dia bisa hilang begitu saja tanpa kabar. Tanganku bergerak mengambil handphone dari saku celanaku. Aku mengecek apakah ada balasan whatsapp dari Tristan. Ternyata tidak ada.. bahkan dia belum membaca pesanku.

Aku tidak bisa menahan diri, kucoba menelponnya lagi kali ini. Tetapi kali ini telponku malah masuk ke mailbox. Padahal tadi sore masih bisa masuk, tapi memang tidak dia angkat. Sekarang, aku benar-benar penasaran! 'Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Tan?'

Admin

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 comments:

Post a Comment