Chapter 6 :
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus disibukkan dengan segala hal tentang Tristan. Sepertinya, itu membuat perjalananku menjadi tidak begitu terasa, dan aku cukup terkejut saat menyadari bahwa aku sudah sampai di ujung jalan. Artinya, rumahku sudah terlewati, sekarang aku berdiri di depan rumah kakeknya Tristan.
Aku memandangi ke arah rumah tua yang tampak gelap gulita itu. Biasanya, aku akan merasa ketakutan dengan rumah yang tampak gelap seperti itu. Tapi kali ini, rasa penasaranku telah mengalahkan rasa takutku. Lagipula, malam ini bulan cukup terang sehingga aku masih dapat melihat dengan cukup jelas.
'Kenapa tidak ada satupun lampu yang dinyalakan ya?' Itu adalah hal pertama yang kutanyakan. 'Apakah seisi rumah sudah tidur? Kalaupun benar begitu, seharusnya kan tetap ada lampu yang dinyalakan di luar rumah...'
Perlahan dan ragu, aku melangkah mendekati pagar rumah. Aku lagi-lagi merasa heran, saat melihat pagar tersebut tampak sedikit terbuka. 'Mereka juga tidak mengunci pagar?'
Aku menggerakkan tanganku untuk mendorong pagar itu. Kulakukan itu dengan sangat pelan, dengan harapan tidak akan ada suara yang muncul. Tapi rupanya pagar itu sudah cukup tua, sehingga sepelan apapun aku mendorongnya.. suara derit yang muncul cukup keras terdengar di telingaku. Bisa jadi karena suara itu muncul di tengah suasana yang memang sangat sepi. Aku berhenti sejenak, menunggu apakah ada respon yang muncul dari dalam rumah akibat mendengar suara yang baru saja kubuat. Tapi, suasana rumah tetap tampak hening!
'Oke, sekarang aku sudah masuk ke halaman rumah. Lalu apa?' Aku membatin dalam gelap bayang-bayang rumah itu. Sesaat aku menjadi bimbang. Apakah aku akan terus maju atau lebih baik jika aku pulang saja. Kali inipun, lagi-lagi rasa penasaranku yang menjadi pemenang, karena sesaat kemudian aku melangkah pelan tetapi pasti untuk menuju pintu rumah.
Aku menarik nafas sejenakn sebelum kemudian dengan keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku mengetuk pintu itu.
'Tristan?' Aku memanggil namanya saat mengetuk pintu. Nama seseorang yang aku rindukan seharian ini. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang akan aku katakan, jika tiba-tiba yang muncul dari balik pintu adalah kakeknya Tristan. Tapi sudahlah, aku tidak peduli. Bagaimanapun, aku harus bertemu dengan Tristan, harus malam ini.
Suasanapun kembali hening. Masih juga tidak ada sahutan, bahkan tidak ada suara apapun dari balik pintu. Ini malah membuatku semakin penasaran. Akupun kembali mengetuk pintu rumah itu. Kali ini lebih kencang.
'Tristan!' Suaraku terdengar lebih lantang. Beberapa menit kemudian, aku terus saja mengulang-ulang mengetuk pintu dan memanggil nama Tristan dalam kesunyian. Tanpa ada respon sama sekali.
Aku hampir saja putus asa, ketika tiba-tiba kudengar sebuah suara, tapi justru berasal dari belakangku. "Siapa di situ?"
Aku menoleh kaget ke arah datangnya suara. Samar-samar tampak sosok seorang wanita paruh baya berdiri menyelidik ke arahku di sana.
Dengan mencoba menguasai rasa takut yang muncul tiba-tiba, aku melangkah perlahan mendekati sosok itu. Semakin dekat, sepertinya aku mulai bisa mengenali sosok itu. Dan akhirnya aku menghembuskan nafas lega, saat mengetahui bahwa sosok wanita itu adalah Bu Dian, tetangga sebelah rumah kakeknya Tristan.
"Eh, Bu Dian. Ini Anton, Bu..." aku kemudian lebih mendekat kepadanya, agar dia juga bisa mengenaliku.
"Lho, kamu tuh lagi ngapain malam-malam begini?" Bu Dian juga tampak lega ketika akhirnya bisa mengenaliku.
'Wah, aku harus kembali mengarang cerita nih...' aku membatin. "Anu, Bu... Tristan..."
"Tristan ga ada di rumah. Tadi sore pergi bawa kakeknya ke rumah sakit," Bu Dian memotong.
Deg! Aku benar-benar terkejut dengan penjelasan Bu Dian. Seketika, rasa penasaranku seperti hilang begitu saja. 'Jadi alasan ini yang membuat Tristan tidak masuk kerja?'
"Memang kakeknya Tristan kenapa, Bu?" Suaraku terdengar sedikit bergetar, mungkin karena aku masih mencoba menenangkan perasaanku untuk apa yang baru saja aku dengar.
"Sepertinya serangan jantung..." Bu Dian menjawab singkat. "Sudah kamu pulang sana! Besok lagi saja kamu ke sini lagi." Dia kemudian tampak berpaling dariku dan melangkah pergi.
Aku buru-buru mengikuti langkahnya. "Bu, ..." aku berlari kecil untuk bisa menyusulnya. "Bu Dian, tahu gak rumah sakit mana?"
"Tristan tidak bilang apa-apa. Tadi itu ibu juga tahunya pas ada ambulan datang." Bu Dian menjawab ringan sambil terus saja berjalan.
"Oh..." aku sebenarnya sedikit kecewa dengan jawabannya.
Saat sampai di depan rumahnya, Bu Dian tampak membuka pagar lalu langsung masuk tanpa menoleh lagi ke arahku yang masih dalam kebingungan. Aku terdiam di tempat itu beberapa saat, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
'Jadi Tristan sekarang sedang di rumah sakit... pantas saja dia tidak bilang apa-apa padaku. Mungkin dia tidak kepikiran, karena saking buru-burunya. Jangan-jangan dia juga tidak membawa handphone-nya...' aku membatin.
Setelah tahu tidak ada yang bisa kulakukan lagi malam ini, aku memutuskan untuk pulang. Tetapi sebelumnya, aku masih sempat kembali ke depan rumah kakeknya Tristan untuk menutup pagar agar tampak seperti terkunci.
***
Akhirnya hari menjadi pagi juga. Semalaman, aku tidak bisa tidur karena tidak bisa berhenti memikirkan Tristan dan apa yang terjadi dengan kakeknya. Aku merasa kasihan, karena setahuku dia hanya hidup berdua saja dengan kakeknya itu. Jadi, kemungkinan saat ini dia juga sendirian di rumah sakit menjaga kakeknya. Selain itu, bagaimana kondisi kakeknya itu sekarang? Aku memang tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tetapi kalau sampai terjadi apa-apa padanya, bagaimana Tristan akan menjalani hidupnya?
'Pasti kamu sangat sedih saat ini, Tan.' Aku membatin sedih karena memikirkannya. 'Kalau sampai harus hidup sebatang kara... ah, kasihan sekali kamu, Tan!'
Akupun segera bangkit dari tempat tidurku, kemudian melangkah menuju cermin untuk memastikan penampilanku cukup baik jika aku langsung pergi begitu saja. Setelah cukup puas dengan apa yang tampak di cermin, buru-buru aku keluar kamar.
'Ton?" Suara Ibu menghentikan langkah buru-buruku. "Tumben sepagi ini kamu sudah bangun?" Aku menoleh, Ibu tampaknya memandangiku sambil memegang sapu di tangannya. Ibu sepertinya sedang membersihkan ruang keluarga.
"Iya, Bu. Aku ada keperluan..." aku menjawab singkat, lalu buru-buru aku kembali melangkah menuju pintu, berharap bisa menghindari semua pertanyaan Ibu sepagi ini.
"Mau kemana si kamu, Ton?" Ibu kembali bertanya. Kali ini agak menaikkan suaranya.
Aku berhenti di depan pintu, menarik nafas dalam. 'Ibu pasti tidak senang, kalau aku memberitahunya bahwa ini tentang Tristan..' aku membatin.
"Oh, ada urusan pekerjaan sebentar, Bu..." aku berbohong sambil cepat-cepat membuka pintu dan segera melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke arah Ibu. Aku takut kalau Ibu akan bertanya lebih banyak, dan aku takut aku tidak bisa berbohong.
Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Ibu memanggil-manggil namaku. Tapi aku menguatkan hatiku untuk tetap melangkah pergi. Bagaimanapun aku harus pergi mencari Tristan hari ini. Harus!
Sambil terus berjalan, aku mulai berpikir harus ke mana sekarang? Rumah sakit pastinya. Tapi rumah sakit yang mana? Ada setidaknya tiga rumah sakit yang paling dekat. Apakah aku harus mengecek satu demi satu ke sana? Meskipun bakal menyusahkan, tapi kemungkinannya memang seperti itu.
***
Hari sudah menjelang siang ketika aku melangkah memasuki gerbang rumah sakit Medika Utomo. Ini sudah merupakan rumah sakit ketiga. Sebelum ini, aku sudah mendatangi dua rumah sakit. Tidak ada nama pasien yang kucari di sana. Tentu saja, aku berharap bisa menemukannya di rumah sakit ini. Karena jika tidak, aku tidak tahu lagi harus mencari kemana.
Menurutku, rumah sakit ini cukup kecil dan terlihat tidak begitu ramai. Dan meskipun letaknya paling dekat dari tempat tinggalku, dari awal aku sedikit ragu jika Tristan akan membawa kakeknya ke sini. Aku rasa aku cukup tahu kebiasaannya. Dia biasa memilih yang terbaik.
"Selamat siang, apa ada pasien atas nama Tuan Wardoyo? Umurnya lebih dari 60 tahun..." aku bertanya ke petugas di bagian informasi. Tanpa menjawab, dia tampak langsung melakukan pencarian data di komputernya. Aku menarik nafas panjang. Saat ini, aku cukup lelah dan tidak punya energi untuk melakukan komplain atas sikap dingin dari petugas ini.
Beberapa saat berlalu, petugas itu sepertinya menemukan sesuatu yang kucari. "Atas nama Bapak William Wardoyo, 72 tahun, di ruang ICU..." petugas itu mengatakannya tanpa menatapku sama sekali.
'Oke, aku mengerti.' Informasi itu sudah cukup untukku. Setidaknya pencarianku sudah berakhir di sini. Aku tinggal mencari lokasi ruangannya saja. Akupun segera melangkah pergi, tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepadanya, dan tampaknya dia juga tidak peduli.
Ku arahkan pandanganku ke sekeliling, mencari petunjuk atau barangkali aku bisa langsung menemukan Tristan di sini. Aku bisa sedikit lega ketika menemukan petunjuk lokasi ruang ICCU berada, buru-buru aku segera mengikuti tanda itu.
Sesampainya di pintu bangsal ICU, aku mengarahkan pandanganku ke dalam bangsal dari balik pintu kaca. Tampak banyak orang di sana. Sepertinya mereka adalah keluarga dari pasien yang menginap di situ. Sayangnya, sosok Tristan tidak bisa kutemukan di sana. Setidaknya, itu berdasarkan apa yang bisa kulihat dari luar.
Sebenarnya aku ingin masuk saja ke bangsal itu. Tapi aturannya jelas terpampang di depan pintu. Jam besuk pasien adalah jam 16.00 sampai jam 17.00. Artinya, masih sekitar 4 jam lebih lagi aku harus menunggu. Lagi pula jam 16.00 sore ini aku juga harus masuk kerja. Aku berpikir, 'apa aku bolos kerja saja? Tapi mana bisa? Kasihan juga Mas Arman kalau harus bekerja sendirian.'
Aku kemudian melangkah ke arah balkon di ujung lorong. Pandanganku menatap kosong ke depan sementara pikiranku terus bekerja merancang rencana yang mesti aku lakukan. Entah berapa lama sudah aku berdiri mematung, berpikir dan terus berpikir. Tapi aku nyatanya tidak bisa memutuskan apapun.
Saat itulah aku melihat sosok yang kukenal sangat baik berjalan di seberang lorong sana. Itu Tristan! Dia tampak berjalan dengan cepat sambil membawa secarik kertas atau semacamnya di tangannya.
"Tristan!" Secara refleks aku berteriak memanggil namanya. Tentu saja dia tidak mendengarnya. Sosoknya segera lenyap di balik tembok. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru berlari ke arah dia menghilang. Tetapi itu bukan hal yang mudah, karena aku harus berlari memutar untuk mencapai lorong itu. Beberapa orang tampak melihatku dengan pandangan penuh tanya, atau mungkin mereka merasa terganggu karena melihatku berlarian di lorong rumah sakit. Tetapi aku tidak peduli. Aku harus bisa mengejar Tristan kali ini.
Aku berhenti, terengah-engah ku pandangi arah sekeliling. Rasanya benar-benar menyesal, karena aku ternyata tidak dapat mengejarnya. Sekarang aku tidak tahu dia ke arah yang mana?
Tapi sesaat kemudian, aku sadar bahwa setidaknya aku sudah berada di rumah sakit yang benar. Aku juga sudah tahu ruangan tempat kakeknya dirawat. Aku hanya perlu menunggu.
Berpikir tentang hal itu, aku segera saja kembali ke bangsal ICU. Di dekat pintu, aku memilih tempat yang cukup nyaman untuk bisa berdiri sambil bersandar. Kupastikan posisiku, sehingga memungkinkanku untuk mengetahui siapa saja yang keluar masuk pintu bangsal itu.
'Oke, Tan. Aku akan menunggumu di sini.' Aku berbisik seolah aku berkata padanya secara langsung.
***
"Tristan!" Aku setengah berteriak dan segera berlari ke arahnya.
Tristan tampak sedikit kaget dengan kehadiranku. Wajahnya tampak sangat letih, dengan mengenakan kaos seadanya dia terlihat begitu lusuh... tetapi tetap seksi dan menarik di mataku.
"Kamu... Ton?" Tristan sempat mengucapkan itu, sebelum dia terdiam saat aku menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Aku tidak sempat lagi untuk berpikir apa yang akan dia pikirkan dengan apa yang kulakukan ini. Yang kutahu, aku sangat ingin memeluknya.
Tetapi syukurlah, Tristan tidak melakukan penolakan. Dia bahkan seolah membiarkan aku melepaskan semua perasaaan kuatir dan rinduku padanya. Dia memberiku cukup waktu. Kaos yang dikenakannya terlalu tipis kurasa, sehingga aku masih bisa merasakan hangat dari tubuhnya. Bahkan tubuhnya terasa panas, sepertinya dia sedang demam.
Meski hanya sekilas, aku juga masih bisa mencium aroma harum dari parfum yang biasa dia gunakan. Aroma itu kali ini sudah bercampur dengan aroma keringatnya. Sangat maskulin. Dan entah kenapa, itu membuatku merasa kian tertarik kepadanya.
Setelah beberapa saat, Tristan mulai bergerak melepaskan dirinya dari pelukanku. Aku tidak mencegahnya, kubiarkan dia melepaskan diri pelukanku.
"Bagaimana kamu bisa di sini, Ton?" Tristan kembali menanyakan hal yang sama.
"Ah," aku senang Tristan tidak membicarakan acara pelukan tadi, "ceritanya panjang, Tan. Tapi bagaimana kondisi kakekmu?" Aku langsung bertanya yang lain, mengalihkan fokus pembicaraan kami kepada kondisi kakeknya.
Raut wajah Tristan tampak menjadi sedih mendengar pertanyaanku. Dia tampak menarik nafas letih. 'Tuhan, apa yang terjadi padaku? Mengapa dia tetap terlihat menarik pada kondisi seperti ini. Kenapa sulit sekali bagiku untuk tidak berfikir macam-macam tentang dirinya.'
"Aku belum tahu pasti..." Tristan menjawab lemah, tidak seperti biasanya.
"Oh, kamu habis menebus obat, ya?" Aku buru-buru menanyakan hal lain saat melihat sebungkus obat di tangannya.
"Iya.. aku mesti buru-buru memberikan ini kepada perawat..." Tristan melangkah meninggalkanku, yang hanya bisa menatapnya. Bagaimana caraku menahannya. Apa yang harus kulakukan ahar bisa menemaninya di sini. 'Tan! Aku benar-benar ingin bersamamu saat ini...' aku menggerakkan tanganku untuk mencegah langkahnya, tetapi suara keinginanku tidak juga keluar dari mulutku.
Saat membuka pintu bangsal, Tristan menoleh ke arahku. "Ton!" Dia mengisyaratkan agar aku mengikutinya.
Tristan tampak memaksakan diri untuk tersenyum padaku. Senyum indah di atas wajah yang terlihat letih. Senyum yang menyihirku untuk segera berlari kecil mengikutinya ke dalam bangsal.
0 comments:
Post a Comment