Roman Dua Sekawan (2)

by 3:50 AM 0 comments

Chapter Kedua :

Hari itu adalah hari pertama kali masuk sekolah setelah masa libur semester yang panjang. Mungkin karena sudah mulai terbiasa bangun siang di hari-hari libur sebelumnya, pagi itu juga aku bangun sedikit siang.

Saat menatap ke arah jam di dinding, aku langsung merasa pasrah jika akhirnya aku sampai ketinggalan bus sekolah. Tapi bagaimanapun aku tetap berusaha secepat mungkin bersiap-siap, tanpa mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi sebentar aku sudah siap hanya dalam lima menit kemudian.

Pagi itu kondisi rumah memang sudah begitu sepi. Ibuku sepertinya sudah pergi ke tempat dia bekerja. Seperti biasa sebelum pergi ibuku akan mengetuk pintu kamarku, memastikanku bangun dan tidak terlambat berangkat ke sekolah. Hari ini dia pasti sudah melakukan hal yang sama, tapi mungkin aku tertidur kembali. Sementara kakak perempuanku juga entah menghilang kemana. Dia memang sudah bekerja, tetapi biasanya agak siang dia baru berangkat.

Sinar matahari sudah terasa begitu menyengat, menandakan hari sudah mulai beranjak siang. Aku bergegas setengah berlari menuju halte tempat aku biasa menunggu bus sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Masih terengah-engah dan berkeringat aku berdiri gelisah menatap ke arah bus sekolah biasa datang. Aku khawatir kalau-kalau bus sekolah itu sudah lewat sebelumnya. Apalagi suasana halte juga sudah sepi. Hanya ada aku seorang diri. Sebentar kemudian aku mencoba duduk, tapi tidak lama kembali bangkit berdiri.  Aku mengulang-ulang antara duduk dan berdiri sambil berusaha meyakinkan diri bahwa aku masih belum terlambat.

Namun ketika lima menit sudah berlalu, dalam pikiranku sudah mulai berpikir bahwa hari ini aku bakal bolos sekolah. Mulai juga kusiapkan juga alasan yang harus sampaikan jika aku sampai diintrogasi oleh pihak sekolah. Pikirku yang penting ibuku tidak sampai tahu, karena itu adalah hal yang paling mengerikan. Ibuku bisa marah besar jika aku sampai bolos sekolah.

Hanya butuh semenit tambahan saja, dan aku sudah putus asa. Aku mulai melangkah untuk meninggalkan halte ketika seorang anak laki-laki datang dari arah ke mana aku akan pergi.

Dia tampak mengenakan baju sekolah yang terlihat sangat bagus dan masih baru. Tas yang dia pakai juga terlihat mahal dan baru. Dia berhenti dan berdiri beberapa langkah dari tempatku berdiri. Dia kemudian tampak santai memandangi arah datangnya bus sekolah. Aku tidak melihat raut khawatir di wajahnya, padahal dia datang jauh lebih siang dibandingkan denganku.

"Siapa sih anak ini? Kok aku baru pertama kali lihat ya?" Aku bertanya-tanya dalam hati. "Dia pasti kesiangan juga nih." Aku sedikit lega, mungkin karena merasa ada teman kesiangan. Padahal, waktu itu aku bahkan tidak tahu dia sekolah di mana.

Kedatangan anak itupun sukses membuatku membatalkan tujuanku awalku untuk menyerah. Merasa mendapat teman, aku memutuskan untuk menunggu lagi saja, barangkali memang bus sekolah masih akan datang dalam beberapa saat ke depan dan aku bisa sampai sekolah pada waktu yang tepat.

Sambil menunggu, sesekali aku memandangi anak itu. Tetapi sialnya, setiap kali itu juga dia kebetulan sedang melihat ke arahku. Aku bisa merasakan panas di pipiku yang pasti memerah akibat rasa malu karena ketahuan. Aku memalingkan pandanganku ke arah datangnya bus sekolah, mencoba membuatnya terlihat natural.

"Kamu kesiangan juga ya?" Aku mendengar suaranya untuk pertama kali. Aku menoleh ke arahnya.

"Iya.." aku menjawab sambil mengangguk. "Kamu baru ya di sini? Aku belum pernah melihatmu selama ini." Aku memberanikan diri untuk bertanya, meskipun aku melakukannya tanpa menatap wajahnya.

"Iya." Dia menjawab singkat.

"Oh.." aku mengangguk-angguk. "Baru pindah?"

"Sudah dari seminggu lalu."

"Oh.." lagi-lagi itu yang keluar dari mulutku. "Tinggal di mana?" Aku seperti tidak ingin berhenti bertanya.

Dia kemudian mengarahkan tangannya ke arah jalan rumahku. "Di ujung jalan itu."

"Benarkah?" Aku kembali bertanya setengah tidak percaya.

Dia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku.

"Aku juga tinggal di jalan situ. Kamu tahu rumah dengan pohon jambu yang bedar di depannya?" Aku mencoba menggambarkan rumahku.

Dia tampak diam mendengarnya, seolah sedang mengingat-ingat rumah yang sedang kugambarkan, tetapi sepertinya dia tidak berhasil mengingatnya.

"Kalau kamu rumah yang mana?" Aku kembali bertanya karena dia malah jadi diam.

"Rumahku yang paling ujung." Dia kembali menjawab dengan singkat.

"Oh..." aku tertegun sejenak. Rumah yang paling ujung itu seingatku hanya dihuni oleh seorang kakek yang dikatakan aneh oleh hampir semua orang di lingkungan kami. Itu karena dia tidak banyak bergaul, dan lebih sering mengurung diri di dalam rumahnya. Entah bagaimana dia bisa hidup sendiri dengan cara seperti itu.

Tapi sebenarnya, aku tidak tahu cerita lengkap tentang kakek itu. Karena dia memang sudah di rumah itu sejak aku lahir. Dan lagi ibuku juga selalu menasehatiku agar aku tidak bermain di sekitar rumahnya, agar aku tidak terkena masalah.  Sampai saat inipun aku masih menuruti nasehati itu.

"Jadi ternyata anak ini tinggal bersama kakek aneh itu?" Aku bertanya pada diriku sendiri.

"Kamu ngomong apa?" Anak itu tiba-tiba bertanya mengagetkanku.

"Gawat!" Aku berseru dalam hati. "Apakah tadi aku terlalu keras mengatakannya? Apakah dia bisa mendengarnya?"

"Hei?" Dia kembali menegurku.
"Ah, tidak? Aku tidak bilang apa-apa kok..." aku berusaha menutupi.

Dia menggerakkan maju bibirnya, menghembuskan nafas sambil mengangguk-angguk.

"Sepertinya, kita sudah terlambat untuk mendapatkan bus sekolah." Aku kembali membuka topik pembicaraan lainnya.

Dia memandang sejenak ke arah datangnya bus. "Benarkah?" Kemudian dia menatapku sekilas. "Kalau begitu aku pulang saja." Dia lalu tampak beranjak pergi.

"Lho.. Tunggu!" aku berusaha menahannya. "Apa kamu mau pulang begitu saja?" Sejujurnya, aku sedikit heran dengan responnya itu. Dia sepertinya santai saja untuk membolos sekolah.

Dia berhenti lalu menoleh kearahku. "Iya." Dia menjawab dengan nada cuek. "Aku mau pulang dan tidur lagi.." dia kembali berpaling dah melangkah pergi.

"Orang tuamu tidak masalah?" Aku sedikit mengeraskan suaraku.

Dia kembali berhenti. Tapi tidak menoleh ke arahku. Dan dia seperti berdiri terpaku di sana. Beberapa saat kemudian dia memandangku dengan mimik yang sedih.

"Oh, maksudku..." aku mencoba mengoreksi ucapanku. "Apakah kamu tidak akan dimarahi orang tuamu karena bolos sekolah?"

Raut kesedihan masih tampak di wajahnya. Aku sedikit merasa bersalah dan mulai berpikir jangan-jangan orang tuanya sudah tidak ada.

"Ibuku bisa menghukumku kalau tahu aku bolos sekolah..." aku berkata sedikit pelan. Agak memalukan sebenarnya mengatakan ini pada orang yang belum kukenal. Tapi aku terpaksa mengatakannya, untuk menutupi rasa bersalahku.

"Apa? Ibumu menghukummu?" Kali ini dia bertanya dengan mimik keheranan.

Aku mengangguk pelan. Kulihat kemudian dia berjalan mendekat.

"Ibumu menghukummu karena kamu bolos sekolah?" Dia bertanya.

Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Rasanya aku sudah membuat bahasan yang salah. Tidak seharusnya hal ini aku bicarakan pada orang yang baru kukenal.

"Kenapa kamu sepertinya heran begitu?" Aku balik bertanya, mencoba mengalihkan fokus pembicaraan kepadanya.

Dia tidak menjawabnya. Dia hanya memandangiku sekilas dan tersenyum sambil memandang ke arah depan. Itu senyum pertama yang aku lihat di wajahnya. Dari samping senyuman itu terlihat sangat manis, membuatku ingin lebih dekat dengannya.

"Kamu beruntung..." dia seperti menerawang ke arah jauh.

Aku memandanginya tanpa mengerti maksud perkataannya.

"Ibuku.." dia berhenti sejenak. "bahkan mungkin tidak peduli aku sekolah atau tidak..."

Aku tertegun mendengar ucapannya kali ini. Tiba-tiba saja aku dapat memahami alasan kenapa dia bisa dengan mudah memutuskan untuk bolos sekolah.

Kami kemudian terdiam untuk beberapa saat, seolah kami sedang merenungi kondisi kami masing-masing.

"Aku biasanya pergi ke game center langgananku." Aku memecahkan kesunyian.

"Ya?" Dia seperti baru tersadar dari lamunannya.

"Kalau ketinggalan bus sekolah, aku tidak akan pulang ke rumah. Biasanya aku akan menghabiskan hariku di game center langgananku." Aku menjelaskan.

"Oh ya? Kamu suka maen game juga?" Dia mendadak tampak senang.

Aku mengangguk sambil tersenyum karena akhirnya aku berhasil membuatnya kembali tersenyum. Dan sepertinya kami berhasil menemukan sebuah kesamaan di antara kami.

"Kalau begitu, apa kita bisa ke sana sekarang?" Dia bertanya lagi kepadaku. Sebuah pertanyaan yang tidak akan aku sia-siakan.

"Iya! Tentu saja. Itu ide yang jauh lebih baik dari pulang ke rumah, kan?" Aku juga sebenarnya merasa senang karena tidak perlu pulang ke rumah. Ditambah lagi aku tidak membolos sendirian kali ini.

Aku segera melangkah dengan diikuti olehnya ke tempat yang kami sepakati itu dengan perasaan antusias.

Admin

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 comments:

Post a Comment