Chapter 3 :
"Anton!" Suara Ibu terdengar melengking dari arah dapur.
Aku pun segera tersadar dari lamunanku tentang awal kisah pertemuanku dengan Tristan. Kisah yang masih kuingat setiap detilnya dengan sangat jelas, meskipun itu terjadi sekitar lima tahunan yang lalu. Tepatnya saat kami masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Anton!" Lagi-lagi Ibu berteriak memanggilku dengan suaranya yang melengking. "Kamu sudah bangun kan?"
"Ya!" Aku berusaha berteriak, tapi perutku mengejang sesaat setelahnya dan suaraku menjadi tertahan. Aku segera memegangi perutku. Entahlah apa Ibu bisa mendengat jawabanku atau tidak. Yang jelas aku harus bergegas ke dapur, sebelum Ibu kembali berteriak.
Aku beranjak bangun, membuka pintu dan secepatnya menuju dapur. Tetapi sepertinya aku tidak bisa berjalan dengan cepat karena rasa sakit di perutku.
"Anton!" Ibu berteriak lagi. Ya itulah Ibu, dia akan terus berteriak sampai aku menjawabnya. Ini berarti suaraku tidak sampai terdengar olehnya.
Sesampainya di sana, aku segera menarik kursi dan duduk di meja makan dengan perlahan. Ibuku sekilas melihat ke arahku. Sesampainya di dapur dapat kulihat Ibu masih sibuk menyiapkan bekalnya. Sementara kakak perempuanku duduk di meja makan sambil menikmati roti bakar.
"Ada apa dengan perutmu?" Kakak perempuanku bertanya keheranan karena melihatku masuk dengan memegangi perutku. Rupanya aku memang tidak bisa menyembunyikannya dari mereka.
Ibu langsung ikut memandangiku saat aku perlahan menarik kursi dan duduk di sebelah kakakku.
"Tidak. Memang kenapa perutku?" Aku mencoba berbohong. Tapi sepertinya mereka bisa mendengar dari suaraku bahwa aku sedang menahan rasa sakit.
Ibu kembali berpaling meneruskan pekerjaannya setelah memandangiku cukup lama.
"Jangan bilang kamu ikut-ikutan berkelahi dengan Tristan." Ibu tiba-tiba terdengar berkomentar dengan nada setengah mengancam. "Ibu sudah bilang berkali-kali kan?"
Aku menatapnya ke arahnya dengan tatapan protes. Aku tahu, Ibu tidak suka dengan Tristan. Dari dulu Ibu selalu memarahiku jika aku bergaul dengan anak itu. Tapi nyatanya aku memang tetap berteman dengan Tristan. Dia bahkan satu-satunya sahabat yang kupunya hingga saat ini. Mungkin karena hanya Tristan saja yang seumuran denganku di lingkungan tempat tinggalku.
Aku menatap ke arah kakak perempuanku yang di sebelahku. Memberinya isyarat bahwa yang terjadi tidak seperti yang Ibu tuduhkan. Kakak perempuanku ini memang sangat sering menjadi tempat aku berlindung, saat Ibu sedang marah kepadaku. Tetapi kali ini dia hanya memberikan isyarat agar aku diam dan jangan memperkeruh suasana.
"Ibu tidak suka kamu bergaul dengan dia. Dia jelas-jelas membawa pengaruh buruk kepadamu."
Aku kembali memandang ke arah kakak perempuanku, seolah meminta persetujuannya untuk membantah. Tapi dia tampak menggeleng, dia ingin aku tetap diam.
Akupun hanya menarik nafas panjang, menelan kembali apa yang ingin kuungkapkan. Sejenak kami bertiga terdiam. Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Aku mulai berpikir pembicaraan tentang Tristan sudah selesai.
"Jadi, apa yang kalian lakukan semalam?" Tetapi Ibu tiba-tiba kembali bertanya.
"Ini bukan karena Tristan, Bu.." aku yang tidak tahan lagi menjawab dengan suara parau. Aku tidak suka jika pada akhirnya Tristan selalu saja disalahkan oleh Ibu.
"Oh, jadi kenapa perutmu itu?" Ibu terus saja bertanya seolah sedang menginterogasiku.
Aku menarik nafas panjang lagi. Rasanya banyak yang ingin aku katakan tetapi entah kenapa seperti tidak bisa keluar dari mulutku.
"Bu, sudahlah. Mungkin perut Anton memang tidak apa-apa.." Kakakku yang sedari tadi hanya terdiam, kali ini mencoba membelaku.
Ibu terdiam sesaat dan nampak meneruskan pekerjaannya. Tapi suasana seperti ini sangat terasa tidak mengenakkan bagiku. Sangat tidak enak ketika dicurigai oleh Ibu sendiri.
"Semalam saat pulang kerja ada preman ingin mengambil dompetku. Aku lari dan dia menangkapku lalu sempat memukuli perutku beberapa kali. Untunglah Tristan datang menolongku..." aku akhirnya buka suara, dan berusaha menekankan kalimat terakhirku untuk membela Tristan.
Ibuku tampak menatapku tajam kali ini, seolah ingin menyelidiki apakah aku sedang berbohong atau tidak. Aku tidak bisa memandangnya terlalu lama. Kupalingkan wajahku ke arah kakakku. Dia tampak juga sedang memandangiku dengan tatapan yang juga sama, seperti sedang mencari tahu apakah aku sedang berbohong atau tidak.
Baiklah, aku menarik nafas lagi dan berusaha menutup mulutku rapat-rapat. Aku memang beberapa kali pernah berbohong. Tapi itu kulakukan supaya Ibu tidak lagi menjelek-jelekkan Tristan. Bagaimanapun Tristan tidak bersalah. Pada beberapa kasus entah kenapa Ibu selalu saja menjadikannya sebagai pelampiasan.
Kakakku mengulurkan tangannya untuk memeriksa perutku. Aku mengeluh ketika rasa ngilu kembali terasa di sana.
"Apa kamu benar-benar baik saja?" Kakakku dengan nada khawatir. Dia memaksa menyingkap kaosku dan melihat kondisi perutku, sementara aku hanya meringis dan tidak bisa berbuat banyak.
Beberapa saat kemudian, kakakku sudah beranjak dan tampak mengambil es dari kulkas. Dia kemudian kembali dan mulai mengompress perutku, sementara Ibu juga mendekatiku untuk melihat dari dekat.
Dalam kondisi seperti ini, entah kenapa lagi-lagi aku teringat dengan Tristan. Dia sudah memberiku saran agar mengompress perutku dengan es semalam. Mungkin jika aku menuruti nasehatnya itu, pagi ini aku tidak perlu menghadapi situasi seperti ini.
"Dengarkan Ibu baik-baik, Anton. Siapa kira-kira yang memberimu ide untuk bekerja di bar malam itu? Itu ide yang sangat buruk. Kenapa kamu tidak mendengarkan Ibu?" Ibu tahu persis aku bekerja di sana karena aku ingin mengikuti Tristan. Tapi itu tidak berarti Tristan mengajakku untuk bekerja di sana, justru aku sendiri yang minta kepadanya untuk merekomendasikanku di sana.
Aku diam saja. Aku tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Pembicaraan yang selalu saja berakhir dengan menyudutkan Tristan di bagian akhirnya. Sementara itu kakakku dengan telaten mengompress perutku, seolah tidak lagi berkeinginan untuk ikut perdebatan yang terjadi antara aku dan Ibu.
Beberapa waktu berlalu, perutku mulai terasa lebih baik. Mungkin rasa dingin itu berhasil membuatku menahan rasa sakitnya, atau memang rasa sakitnya sudah mulai berkurang. Sementara Ibu terlihat sudah menyelesaikan roti bakarnya. Dia meletakkan tepat di meja di depanku, kemudian dia duduk dan memandangiku.
"Anton, ingatlah tinggal kurang dari 1 bulan lagi ujianmu untuk masuk universitas akan berlangsung. Seharusnya kamu fokus dengan hal itu. Berhentilah bekerja di bar malam itu." Ibu memintaku hal yang sama untuk kesekian kalinya.
"Bu, kita sudah pernah membahas ini kan? Kita perlu uang. Aku harus bekerja." Aku memberi alasan.
Kakakku menghentikan sejenak tangannya. "Ton, kamu kan bisa cari kerjaan lain. Aku rasa kali ini ada baiknya kamu mendengarkan Ibu." Kakak ikut berkomentar. Aku diam saja, saat ini posisinya seperti dua lawan satu.
Saat kuarahkan pandangan pada Ibu, kulihat wajahnya tampak berbinar mendengar pernyataan kakakku. Mungkin dia merasa ada yang mendukungnya kali ini. "Ngomong-ngomong soal pekerjaan, Ibu punya teman yang sedang membutuhkan pekerja. Ibu rasa kamu bisa mengambil pekerjaan itu. Lagi pula tempat kerjanya dekat dengan universitas.."
"Aku tidak akan pergi kemana-mana, Bu," aku segera memotong pembicaraannya.
"Ayolah, Ton!" Ibuku setengah memohon. "Apa yang membuatmu keras kepala begini" dia sedikit mengeluh.
"Anton.." kakak ikut memanggil namaku. "Pikirkan dulu, jangan langsung menolak."
Aku terdiam. Bisa kulihat kesedihan tergurat di wajah Ibu saat aku keras kepala seperti ini. Dia tampak lebih tua daripada umur aslinya. Mungkin beban hidupnya sebagai orang tua tunggal telah meninggalkan bekas yang begitu terlihat di wajahnya.
Bagaimanapun aku pada akhirnya tidak akan sampai hati untuk menambah beban hidupnya. Aku segera berdiri dan menuju kepadanya. Aku peluk dia dari belakang.
"Bu, sudahlah. Nanti ibu terlambat." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Kukedipkan mataku pada kakakku mencari dukungannya. Kakakku menggeleng pelan tanda dia tidak setuju denganku.
Sementara Ibu mengangkat tangannya untuk mengusap pipiku. "Pikirkanlah apa yang ibu katakan tadi ya.. kamu jangan langsung menolak begitu saja.." Ibu masih sempat memintaku, tapi kali ini dengan nada yang lebih lembut. Kakakku tampak cemburu melihat ke arahku.
Aku tersenyum menang, kueratkan pelukanku, dan kucium pipi Ibu sekilas. "Baiklah, Bu. Aku akan memikirkannya dulu." Aku mencoba sedikit mengalah kepadanya. "Nah, sekarang bukankah sudah waktunya ibu pergi bekerja?" Aku bertanya.
"Bagaimana ibu bisa pergi, kalau kamu memeluk ibu seperti itu." Kakakku memotong dengan nada cemburu.
Ibuku tertawa kecil sambil menepuk2 pipiku. Sementara aku menjulurkan lidahku mengejek kakakku di sana yang tampak gemas kepadaku.
Aku melepaskan pelukanku sesaat kemudian sambil tertawa kecil ke arah kakak. Ibupun segera bangkit berdiri dan segera menuju pintu. Aku dan kakak mengikutinya untuk mengantarnya sampai depan pintu.
"Jangan lupa makan sarapanmu ya, Ton." Ibu berpesan kepadaku. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Kamu juga, Liz." Ibu berpesan pada kakak.
"Ah, aku antar Ibu dulu ya. Hari ini aku masuk agak siang. Jadi aku sempat mengantarkan Ibu.." kakakku segera menuju mobil tua warisan Ayah.
Ibu hanya mengangguk dan mengikuti kakak masuk ke dalam mobil tua yang terparkir di halaman rumah kami. Aku menutup pintu rumah sesaat setelah mobil itu meninggalkan halaman.
Aku berjalan pelan menuju meja makan di dapur. Perutku memang masih terasa sakit, tapi kini tambah dengan rasa lapar. Sesampainya di sana, dengan lahap kumakan beberapa lembar roti bakar sekaligus, sambil pikiranku kembali melayang menuju Tristan.
0 comments:
Post a Comment