Chapter pertama :
Aku hanya bisa terdiam ketakutan menyaksikannya berduel dengan lelaki itu. Sementara itu aku memegangi perutku yang terasa sakit akibat beberapa pukulan lelaki itu sebelumnya. Jika Tristan tidak segera datang, entah apa yang akan terjadi padaku.
Aku kini merasa sedikit menyesal karena telah memutuskan untuk pulang lebih dulu dari tempat kami bekerja. Seharusnya aku mendengarkan sarannya untuk menunggu sebentar dan pulang bersamanya.
Akhir-akhir ini suasana kota ini memang tidak lagi aman. Banyak preman berkeliaran mencari mangsa. Terutama pada mereka yang sepertiku, yang terlihat lemah dan tidak mampu melindungi diri sendiri. Dan malam ini seperti menjadi malam naas untukku, saat lelaki itu menghadang jalanku dan memintaku memberikan dompetku padanya. Aku memang ketakutan dan berusaha lari darinya, tapi dia sepertinya bisa dengan mudah menangkapku dan memukuliku.
Pada saat itulah Tristan datang sambil berteriak dan menyerang lelaki itu. Dia memang jauh berbeda jika dibandingkan denganku, dia seorang pemuda yang sangat kuat. Dia bahkan punya sabuk hitam karate, jadi untuk urusan berkelahi memang sudah jadi keahliannya.
Dalam kondisi seperti ini, aku masih sempat mengagumi sosoknya yang terlihat begitu gagah terkena cahaya lampu penerang jalan yang agak redup. Ini bukan berarti aku menyukai dia berkelahi, sebenarnya aku tidak suka itu. Dia bahkan terlihat tidak semenarik itu bagiku saat berkelahi. Dan asal tahu saja, dalam kondisi marah dia bisa terlihat sangat kacau, sangat menakutkan.
Tapi kali ini, aku merasa semacam nyaman melihat dia berkelahi untuk melindungiku. Meskipun ini bukan kali pertama dia melindungiku.
Aku harus mengakui, Tristan memiliki wajah yang cukup rupawan. Aku tidak pernah bosan melihat wajahnya yang terlihat keras tetapi manis saat tersenyum. Matanya yang besar terlihat bening saat dia menatapku. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran lokal. Sedangkan bibirnya yang tipis dihiasi dengan kumis halus di atasnya, benar-benar sangat menggairahkan. Hanya dengan memikirkannya saja aku merasa seperti terbang ke alam khayalan. Karena itulah aku bahkan tidak berani menatap bibir itu terlalu lama, karena itu bisa membuatku benar-benar naik ke atas awan.
Entah sejak kapan aku memiliki perasaan antara kagum dan suka kepadanya. Sejujurnya aku tidak dapat mengingatnya secara pasti. Tapi satu hal yang pasti, semakin ke sini aku semakin bingung dengan perasaanku sendiri kepadanya.
Aku merasa ragu, apakah ini hanya perasaan kagum, atau jangan-jangan aku memang mulai suka dengannya. Tapi apakah itu mungkin? Dia lelaki, aku juga lelaki. Dan kami bersahabat sudah sejak lama. Bahkan seperti yang sering kudengar darinya, dia sudah menganggapku seperti saudaranya sendiri.
Akhir-akhir ini, aku merasakannya mulai menyesakkan dadaku. Dalam kondisi seperti itu aku sangat ingin bercerita masalahku tersebut kepadanya. Tapi seperti biasa, aku yang pengecut, aku yang merasa takut, mana bisa aku melakukannya. Entah aku takut dia akan marah kepadaku, atau aku takut dia akan meninggalkanku setelah itu.
Di samping itu, aku tidak ingin merusak apa yang sudah kami bina selama ini. Dia sahabat terbaikku, jadi apa yang kurasakan ini harus bisa kutepis jauh-jauh.
"Lari sana!" Tristan berteriak dengan lantang, sementara mataku mengikuti gerakan lelaki yang menjadi lawannya lari sempoyongan kabur darinya. Rupanya dia berhasil mengalahkannya.
Tristan tidak mengejarnya. Dia tampak mengusap keningnya. Mungkin itu adalah keringat yang mengalir hasil perkelahiannya. Sesaat kemudian dia lalu berpaling ke arahku, jalannya terlihat seperti sambil menahan rasa sakit di bagian tubuhnya. Aku pikir meski dia mencoba menyembunyikannya, dia juga pasti merasakan sakit bekas pukulan lelaki tadi yang sempat mengenai tubuhnya.
Begitu sampai ke tempat ku berdiri, dia tampak masih terengah. Harum lembut parfumnya bercampur dengan aroma keringatnya menggelitik hidungnya. Aku sangat menyukainya.
Melihat kondisiku, tangannya terulur untuk memeriksa perutku.
"Kamu tidak apa-apa?" Dia bertanya dengan nafas yang masih naik turun.
Aku secara refleks menepis tangannya dan mengangguk pelan sambil meringis menahan rasa sakit. Dia tampak tersenyum mengejek melihat reaksiku.
"Ayolah, Ton." Dia menarik tubuhku agar melangkah bersamanya. "Kamu pasti baik-baik saja. Masih bisa jalan kan?"
Aku tidak menjawab, tapi aku menurut dan mulai melangkah pelan di sampingnya. Aku rasa kami berdua berjalan sambil menahan rasa sakit.
"Sudah aku bilang kan?" Tristan menatapku sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Tunggu saja sebentar, urusanku tidak lama kan. Lagian kamu tumben mau buru-buru pulang."
"Aku agak pusing tadi.." aku berusaha mengajukan pembelaan diri, tapi suaraku terdengar begitu lirih di telingaku.
Dia tertawa kecil seolah kembali mengejekku, membuktikan dia masih bisa mendengar suaraku. Tawa seperti itu sudah sering kali ku dengar. Salah satu hal yang paling aku tidak suka darinya, karena itu membuatku merasa diremehkan olehnya.
"Sekarang, tambah lagi dengan sakit di perutmu," dia berkomentar lagi.
Kali ini aku diam saja dan terus berjalan. Aku sudah tidak punya energi untuk meladeninya. Biasanya, aku akan menimpali. Biasanya aku tidak akan mau kalah kalau soal adu argumen dengannya. Kenapa? Ya mungkin karena hanya itu yang aku merasa bisa mengimbanginya.
"Hei.. apa sangat sakit?" Tristan dengan suara sedikit khawatir. Mungkin dia merasa tidak biasanya aku diam begitu saja ketika dia mengejekku.
Aku sekilas menoleh dan meringis ringan, entah dia bisa melihatnya atau tidak. Aku rasa itu jawaban terbaik yang bisa aku berikan kali ini. Bagaimanapun perutku terasa makin ngilu. Tiga atau empat pukulan lelaki tadi meninggalkan sakit yang membekas di perutku.
"Dia tidak ambil apapun darimu kan?" Dia kembali bertanya.
"Tidak..." aku menjawab sesingkat mungkin dan menahan pergerakan di perutku sebisaku, karena sedikit saja gerakan di sana rasanya sangat ngilu.
"Ya syukurlah kalau begitu. Nanti sampai rumah coba kamu kompres perutmu itu dengan es." Tristan memberiku saran. "Perutmu tidak sampai berdarah kan?"
Aku menggeleng pelan sambil terus berjalan.
"Tapi, aku suka nih kalau kamu diam begini. Tidak berisik seperti biasanya." Dia tertawa sambil menepuk-nepuk keras punggungku.
Aku mendengus kesal dan menjauhi tangannya sebagai tanda protes. Bagaimanapun itu memicu rasa sakit di perutku. Dia tertawa melihat responku.
"Besok mungkin kamu tidak perlu masuk kerja dulu. Istirahatlah barang sehari. Nanti aku akan bilang kalau kamu sakit." Dia terus saja berbicara. Mungkin karena kali ini aku hanya bisa diam, jadi dia merasa senang dan berkesempatan menguasai pembicaraan.
Aku hanya bisa membiarkannya, rasanya tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Sebenarnya, rumah kami tidak jauh dari tempat kami bekerja, hanya satu blok saja. Tapi karena mungkin aku berjalan sangat pelan, rasanya seperti tidak sampai-sampai.
Ditambah lagi sepanjang perjalanan Tristan terus saja berceloteh. Kadang dia memberi saran, kadang mengejek. Entahlah, aku tidak bisa mengingat semuanya. Aku terlalu fokus dengan rasa nyeri di perutku.
Ketika akhirnya kami sampai juga di depan rumahku, aku benar-benar merasa lega.
"Aku masuk ya.." aku dengan suara sangat pelan bergegas meninggalkannya menuju pintu rumahku. Sebelum membuka pintu aku masih sempat menoleh ke arahnya. Dia masih di sana, berdiri memandangiku seolah ingin memastikan aku tetap aman sampai masuk ke dalam rumah.
"Terimakasih." Aku mencoba meneriakkan kata itu. Aku tidak tahu dia bisa mendengarku atau tidak, karena suaraku rasanya seperti tidak keluar, tertahan oleh rasa nyeri yang makin menjadi di perutku.
Aku kemudian mengangkat tanganku dan berusaha tersenyum kepadanya. Dia membalas dengan mengangkat tangannya sambil tersenyum juga. Senyumnya itu seperti biasa terlihat sangat manis, sejenak senyumannya itu bisa membuatku lupa dengan rasa sakit di perutku.
Perlahan ku buka pintu rumahku, kupastikan dia sudah berlalu sebelum aku menutupnya kembali. Sesaat aku sempat melihatnya berjalan melanjutkan langkahnya menuju ke rumahnya di ujung jalan sana. Saat sosoknya hilang ditelan gelapnya malam, aku menutup kembali pintu secara perlahan, dengan maksud agar kedatanganku tidak mengganggu orang di rumah yang sepertinya sudah terlelap.
0 comments:
Post a Comment